INDOKOM NEWS | Dalam hidup, tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang ibu selain melihat anak yang dilahirkannya dengan penuh cinta, terpaksa diserahkan ke tangan hukum.
Namun, itulah yang harus dilakukan Siti Syafrida, seorang wanita berusia 61 tahun, saat hatinya sudah terlalu lelah menanggung ancaman dan ketakutan dari anak kandungnya sendiri, Zufrid Syaputra (32).
Hari itu, Siti berdiri di depan kantor polisi dengan mata sembab dan tangan gemetar. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti beban yang menghancurkan jiwanya. Bukan perkara mudah untuk seorang ibu melaporkan anaknya, tetapi apa lagi yang bisa ia lakukan?
“Aku nggak tahan, capek aku, aku nggak sanggup,” lirihnya sambil menahan tangis. “Sudah ibu bilang, ku laporkan kau ke polisi. Aku nggak sanggup lagi. Tiap hari kau minta uang, Rp 100 ribu, Rp 200 ribu, dari mana? Utang ibu sudah banyak.”
Suara Siti bergetar, mengungkapkan rasa putus asa yang telah lama ia pendam. Anak yang dulu ia peluk dengan penuh kasih, kini menjadi ancaman bagi dirinya. Setiap kali Zufrid mengacungkan parang ke arahnya, Siti merasakan hatinya hancur berkeping-keping.
Senin itu (25/11/2024), bersama kepala lingkungan, Siti melapor ke Polsek Medan Tuntungan. Ia tak lagi punya pilihan selain meminta perlindungan.
Sang Kapolsek Medan Tuntungan, Iptu Eko Sanjaya, memimpin langsung penangkapan di rumah korban yang berada di Jalan Coklat 1, Kecamatan Medan Tuntungan ,Medan, Sumatera Utara.
Ketika petugas tiba, Zufrid tidak menyerah begitu saja. Ia melawan, mempersulit upaya polisi untuk memborgolnya. Namun yang paling memilukan adalah ketika Siti sendiri harus masuk ke kamar anaknya untuk menunjukkan parang yang selama ini menjadi alat ancaman.
Dengan tangan yang bergetar, ia membuka pintu kamar dan memandangi barang itu. Parang sepanjang 20 cm, saksi bisu dari betapa gelapnya hubungan antara seorang ibu dan anak. Tangannya terulur, tetapi hatinya seakan berteriak. Bagaimana mungkin ini terjadi? Bagaimana mungkin anak yang dulu ia ajari berjalan kini berdiri di sisi berlawanan darinya?
Setelah Zufrid berhasil ditangkap dan barang bukti diamankan, Siti hanya berdiri diam. Air matanya mengalir tanpa henti. Tidak ada rasa lega, hanya kehampaan yang menyelimuti dirinya. Keputusan ini seperti merobek bagian dari dirinya sendiri.
Tetangga yang menyaksikan kejadian itu tak kuasa menahan haru. "Seorang ibu pasti tak ingin melaporkan anaknya, tapi Siti sudah terlalu lelah. Ini bukan kebencian, ini cinta. Ia ingin anaknya sadar dan berubah," ujar seorang tetangga sambil menundukkan kepala.
Kini, Zufrid harus menjalani proses hukum atas perbuatannya. Tetapi bagi Siti, jeruji besi bukanlah hukuman yang ia inginkan. Ia tidak pernah berharap anaknya dipenjara. Yang ia harapkan hanyalah sebuah perubahan, sebuah kesadaran.
“Anak tetap anak, walau seperti apapun. Hati ini tetap berharap dia berubah,” ucapnya lirih saat meninggalkan kantor polisi.
Cerita ini bukan hanya tentang hukum, tetapi tentang cinta yang terpaksa memilih jalan yang menyakitkan. Kisah ini adalah gambaran betapa kuatnya hati seorang ibu yang rela menanggung beban sebesar apapun demi keselamatan dirinya, dan demi harapan anaknya dapat menjadi lebih baik.
Air mata Siti adalah pengingat bagi kita semua bahwa cinta sejati seorang ibu tidak pernah padam, bahkan di tengah luka yang dalam. Di setiap isak tangisnya, terselip doa yang hanya ingin melihat anaknya kembali menjadi seperti dulu: anak yang ia sayangi sepenuh hati. **
(Vona Tarigan)